by: Jacyntha Orinetha
“Eh, kok tiba-tiba anjingku suka garuk-garuk ya?”
“Iya nih, kulitnya kok jadi merah-merah ya?”
Ada yang pernah mendengar atau bahkan mengalaminya sendiri? Hati-hati, jangan-jangan anjing Anda sedang terkena alergi!
Gambar 1. Anjing menggaruk (akc.org)
Alergi atau reaksi hipersensitivitas adalah suatu reaksi normal yang dialami tubuh akibat adanya reaksi sistem imun, baik antibodi maupun sel-sel penyebab radang, ketika terkena substansi asing atau faktor-faktor penyebab alergi (alergen)[1]. Mayoritas alergi pada kulit anjing memiliki gejala yang serupa: gatal-gatal, lebih sering menjilati atau mengigiti daerah tertentu, kulit menjadi kemerahan karena adanya reaksi radang, rambut rontok dan rusak, serta tak jarang melanjut kepada infeksi. Padahal, penyebab alergi itu variatif banget loh! Apa saja sih jenis-jenis alergi yang sering menyerang anjing? Yuk kita lihat!
1. Alergi ektoparasit (flea allergy dermatitis) dan gigitan serangga.
Alergi ini merupakan reaksi karena adanya alergen yang terdapat pada ludah ektoparasit dan serangga yang mengigit tubuh anjing[1,2]. Penyebabnya adalah parasit yang dapat dilihat langsung, khususnya pinjal, ataupun karena gigitan nyamuk, tawon, dan lebah. Alergi ini dapat terjadi tidak terpengaruh pada jenis kelamin, umur, maupun breed anjing tertentu, dan umumnya terjadi pada bulan-bulan yang panas karena serangga menjadi lebih aktif untuk mencari pakan[2].
Gambar 2. Pinjal (flea) dan tingkat kehidupannya (vcahospitals.com)
2. Alergi terhadap alergen pada lingkungan (atopic dermatitis).
Alergi ini terjadi karena adanya alergen yang terhirup misalnya tungau rumah, jamur, dan serbuk sari, sehingga menyebabkan peningkatan reaksi antibodi Immunoglobulin E (IgE)[1]. Alergen yang terpapar dalam waktu lama dapat menyebabkan ketidakseimbangan pembentukan ceramides (lemak pelindung kulit) sehingga terjadi peningkatan stimulasi dari sistem pertahanan tubuh (limfosit T) dan dapat menjadi penyakit kulit (dermatitis). Alergi ini lebih rentan terhadap breed tertentu, seperti Golden Retriever, Boxer, Labrador, dan Terrier, namun tak jarang pula ditemukan pada breed lain. Anjing yang tinggal di dalam rumah juga diketahui lebih rentan terkena alergi ini daripada anjing yang tinggal pada shelter, karena tungau rumah yang tidak terlihat ini lebih banyak berada pada perabotan rumah tangga [2].
3. Alergi terhadap makanan (food allergy).
Alergi makanan merupakan jenis alergi yang juga sering ditemukan pada anjing. Makanan yang banyak menyebabkan alergi pada anjing antara lain daging sapi, susu dan produk olahannya (dairy products), daging ayam, gandum, daging domba, kedelai, jagung, telur, daging babi, ikan, biji-bijian (grains), kentang, produk kacang-kacangan, bahan aditif lainnya, dan biasanya makanan ini sudah dikonsumsi oleh anjing yang bersangkutan minimal 2 tahun lamanya[1,3]. Alergi makanan biasanya muncul 2-48 jam pasca makan dan tidak tergantung pada jenis kelamin serta musim, namun, anjing-anjing dengan usia di bawah 1 tahun diketahui lebih rentan mengalami alergi makanan. Selain itu, breed seperti Boxer, Pug, German Sheperd, West Highland White Terriers dan Rhodesian Ridgeback dianggap lebih sensitif terhadap jenis makanan tertentu, walau tidak menutup kemungkinan breed lain juga dapat terkena alergi ini[2,4]. Selain menyebabkan gangguan pada kulit, alergi makanan juga dapat menyebabkan gangguan pada sistem pernapasan, pencernaan, maupun kombinasi ketiganya [4].
Gambar 3. Makanan anjing (dog food). (pixabay.com/mattycoulton)
4. Alergi karena kontak langsung dengan iritan (contact allergy).
Alergi jenis ini disebabkan karena adanya kontak langsung antara kulit dengan zat iritan lainnya yang berada di lingkungan, terutama pada daerah-daerah yang memiliki rambut tipis seperti kaki, hidung, dagu, dan bagian bawah tubuh. Bahan-bahan penyebab alergi tipe ini antara lain bahan-bahan yang terlalu asam/basa, detergen, sabun, petroleum, kain wol, kain sintetik, plastik, cat, karet, serta kayu[1]. Selain itu, bunga-bungaan (termasuk serbuk sari), obat-obatan, logam, desinfektan, insektisida, dan minyak tea tree juga dapat menjadi penyebab anjing mengalami alergi jenis ini. Reaksi alergi ini biasanya muncul 12-72 jam pasca-paparan dengan iritan[2].
Gambar 4. Daerah persebaran luka dan gatal (warna merah) akibat flea allergy dermatitis. Luka dapat berbentuk benjolan, bintik merah, kebotakan, dan hiperpigmentasi. (Hensel, et al., 2015)
Gambar 5. Daerah persebaran luka dan gatal (warna merah) akibat atopic dermatitis dan food allergy pada anjing. (Hensel, et al., 2015)
Nah, sekarang untuk mengetahui alergi yang diderita oleh anjing, pertama-tama kita dapat melakukan evaluasi kegiatan keseharian pada anjing (misalnya: lokasi keseharian, makanan, bahan kimia potensi alergen), evaluasi terhadap kondisi fisik anjing, serta gejala terhadap penyakit kulit. Apabila ditemukan ektoparasit, kita dapat mencoba memberikan shampoo khusus anti-ektoparasit kepada anjing dan melakukan kontrol terhadap lingkungan, misalnya menghindari bahan-bahan yang dapat menyebabkan reaksi alergi pada anjing[1].
Apabila semua sudah diperiksa dan tidak ada masalah, konsultasikan dengan dokter hewan Anda! Dokter hewan mungkin akan menyarankan untuk mengubah pola makan (uji diet eliminasi) anjing kita menggunakan bahan makanan dengan protein yang jarang digunakan (misalnya salmon dan bebek, dan tidak mengurangi napsu makan anjing) atau menggunakan protein terhidrolisa (protein dengan berat molekul kecil yang dapat mengurangi reaksi alergi). Pemberian diet pengganti ini sebaiknya dilakukan selama 8-12 minggu, dan selama fase pengujian sebaiknya tidak memberikan makanan tambahan seperti snack, vitamin, dan antibiotik. Apabila selama uji gejala alergi membaik, namun gejala kambuh kembali ketika diberikan pakan awal, maka dapat dikatakan bahwa anjing yang bersangkutan menderita alergi makanan. Namun, apabila sejak awal tidak ada perubahan gejala yang signifikan, dapat diduga bahwa anjing menderita atopic dermatitis[1,2,4]. Jadi, sebaiknya tetap konsultasikan dengan dokter hewan Anda apabila Anda menemui gejala mirip dengan kasus alergi kulit pada anjing, ya!
Referensi:
1. Eldredge, D.M., Carlson, L.D., Carlson, D.G., and Giffin, J.M. 2007. Dog Owner’s Home Veterinary Handbook: 4th Edition. New Jersey: Wiley Publishing, Inc.
2. Dopierala, M. and Andraszek, K. 2019. The Most Common Allergic Diseases in Dogs. Folia Pomeranae Universitatis Technologiae Stetinensis, 348(49)1: 47-56
3. Mueller, R.S., Olivry, T., Prelaud, P. 2016. Critically Appraised Topic on Adverse Food Reactions of Companion Animals (2): Common Food Allergen Sources in Dogs and Cats. BMC Veterinary Research, 12(9):1-4
4. Bhagat, R., Sheikh, A.A., Wazir, VS., Mishra, A., Maibam, U. 2017. Food Alergy in Canines: A Review. Journal of Entomology and Zoology Studies, 5(6): 1522-1525.
5. Hensel, P., Santoro, D., Favrot, C., Hill, P., Griffin, C. 2015. Canine Atopic Dermatitis: Detailed Guidelines for Diagnosis and Allergen Identification. BMC Veterinary Research, 11(196): 1-13.
0 Comments